Jurus Sukses Bertambak Udang
Cerahnya siang hari itu, tidak sebanding dengan cerahnya wajah si pemilik tambak udang vannamei yang ditemui TROBOS Aqua di kawasan Indramayu, Jawa Barat (Jabar). Adalah Haji Nandi Rustandi, dengan latar belakang pendidikan perikanannya betul-betul diterapkan untuk tambaknya.
Sebagai lulusan pendidikan di bidang budidaya perairan, pria yang akrab disapa Nandi ini mulai bertambak vannamei semenjak akhir 2005 lalu. Sebelumnya, yakni sejak 1994, pemilik lebih dari 20 petak tambak ini, bertambak udang windu di lokasi tambak yang sama. Alias, tak bisa jauh-jauh dari udang.
Rahasia Nandi tidak bosan-bosannya mengurusi udang, dia katakan tidak bisa lepas dari usaha ini karena berbagai faktor. “Salah satunya, karena saya senang tantangan dan risiko yang dihadapi dalam usaha ini. Jika kita bisa mengatasi permasalahan yang ada, contohnya masalah penyakit, kita bisa dapat untung ketika panen. Dan margin keuntungannya sangat menjanjikan,” jelasnya kepada TROBOS Aqua.
Lebih dari 20 tahun bergelut di dunia udang ini, Nandi pun cukup menerapkan berbagai tip agar usahanya bisa berkelanjutan. “Antara lain, usaha harus sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), gunakan kolam penampung air agar bisa di-treatment (perlakuan) sebelum ke tambak dan setelah dari tambak, jeli dalam mengatur pakan dan melihat tren penyakit, termasuk menjaga agar padat tebar tidak terlalu tinggi dan jangan asal ikut tren,” imbuhnya.
2.Sesuaikan SOP
Menjalankan tambak sesuai SOP itu bukan isapan jempol atau hanya di buku panduan. Karena, terang Nandi, dalam bertahun-tahun ia bertambak, justru dengan penerapan SOP yang sesuailah dia terus bisa menjalankan usaha secara berkelanjutan.
Tidak perlu terlalu rumit, Nandi memisalkan, pembuatan kolam tampungan atau tandon sebagai kolam treatment bisa sangat membantu dalam meningkatkan kualitas air yang masuk ke tambak. Karena dengan adanya tandon, endapan bisa tersaring dan yang masuk ke tambak airnya sudah jernih dan aman digunakan.
Begitu pula pengolahan air limbahnya. Jangan sampai, lanjut Nandi, air limbah dari tambak dibuang langsung ke alam, misalkan ke laut. Air limbah yang tidak diolah bisa mengganggu kualitas perairan laut di sekitar tambak.
Jika air limbah tambak ini diolah terlebih dulu sebelum dibuang, laut tidak terganggu, sehingga bisa membuat tambak berkelanjutan. Jelaslah, dengan terapan SOP ini, Nandi bisa beroperasi lebih dari 20 tahun lamanya.
3.Padat Tebar Stabil
Disamping itu, Nandi tegaskan pula, ia tidak tanggung-tanggung dalam menjalani usahanya bertambak. Tidak peduli petambak di luar sana sedang berlomba untuk produksi jor-joran alias besar-besaran, Nandi tetap kalem dan stabil di padat tebarnya. Yaitu di kisaran 110 ekor per m2. “Makin tinggi padat tebar, risiko makin besar. Seperti penyakit dan tingkat kematian yang tinggi. Belum lagi harus tambah kincir, tambah biaya. Makanya saya ini yang penting selamat saja,” tutur pria asli Ciawi ini.
Dan ia pun merasa, padat tebar yang ia terapkan juga sudah tergolong tinggi bila dibandingkan beberapa petambak lain yang menerapkan padat tebar dibawah 100 ekor per m2. Namun, tetap saja Nandi membatasi padat tebar ini di kisaran tersebut.
“Pernah saya beli benur, ternyata yang datang itu jumlah benurnya lebih. Saya gak berani untuk menambah padat tebar. Akhirnya teknisi saya alihkan benur tadi untuk dipelihara di akuarium. Menurut saya terserah saja, sayang sih tapi saya gak mau ambil risiko. Makanya, ketika benur lebih itu mau dipelihara di akuarium ya silakan. Asal jangan dibuang sembarangan, seperti ke laut. Nanti bisa mengganggu perairan laut,” bebernya.
Ditambah, ujar Nandi, terdapat faktor lingkungan yang bisa merugikan bila padat tebar di atas 100 ekor per m2. Dia memisalkan, tingkat salinitas yang tinggi yang membuat pertumbuhan udang cenderung lambat dan munculnya penyakit seperti myo. Walaupun tingkat kematian masih bisa diatasi karena udang yang terkena tidak langsung outbreak mati semua. Salinitas tinggi ini bahkan bisa mencapai angka 50 ketika musim kemarau tiba.
“Namun, saya masih lebih suka salinitas tinggi dibanding salinitas rendah. Ketika salinitas rendah, pertumbuhan udang ya jadi lebih cepat, tapi penyakit juga banyak,” imbuhnya. Makanya, untuk mengatasinya, Nandi pun menerapkan dari sistem pemberian pakan dan sistem panen parsial.
Melalui sistem panen parsial yang dimulai dari udang berusia 70 hari hingga tidak lebih dari 120 hari. Dengan tiga kali panen dari ukuran (size) 70 (70 ekor per kg) hingga size 30 di tambak bisa dilakukan penjarangan dan di sisi ekonomi, sudah ada uang yang masuk. “Sehingga cash flow sudah ada yang masuk untuk pembayaran ini dan itu,” ungkap Nandi.
Sembari ia ingatkan, penyakit tak mungkin lepas dari tambak udang, tapi yang penting petambak belajar mengatasinya dan mengelola tambaknya sesuai standar yang berlaku. “Contohlah dalam 4 periode/siklus terakhir selalu terkena penyakit myo. Namun saya dan teknisi perlahan berupaya mengatasinya, salah satunya ya dengan parsial,” ia memisalkan.
Disamping itu, untuk atasi tingkat kematian akibat penyakit, Nandi pun menerapkan sistem pakan yang rendah protein. Karena menurut pengalamannya, pakan rendah protein bisa menekan laju kematian udang di tambak.
Tak lupa pula, Nanti selalu meng-update (perbarui) teknologi atau inovasi terbaru yang bisa diterapkan di tambak. Misalkan dengan penerapan plastik untuk tambak seperti mulsa, HDPE (High Density Polietylene) dan LDPE (Low Density Poliethylene) yang dipilih mana yang cocok untuk tambaknya.
Dan baru-baru ini, Nandi pun mulai beralih ke sistem pemberian pakan otomatis atau sistem automatic feeder. “Dengan pemberian pakan otomatis akan terjadi efektivitas pemberian pakan sehingga udang makan secara efektif. Harapannya kan bisa meningkatkan pertumbuhan, ADG (Average Daily Gain) bisa lebih bagus, dan usia budidaya pun akan lebih cepat,” tuturnya.
4.Tantangan ke Depan
Untuk saat ini, Nandi berucap, dengan penerapan sesuai SOP dan padat tebar stabil, usaha budidaya vannamei tetaplah cerah. Tips-tips yang perlu diperhatikan, terangnya, adalah prinsip keterisolir tambak. Semakin jauh tambak dari tambak lainnya, dari permukiman hingga usaha lainnya, otomatis tidak ada penggunaan lain terhadap sumber air budidaya.
Yang ujungnya, beber Nandi, tidak ada ketakutan dengan penyebaran penyakit. Karena, dia memisalkan, banyak terjadi kasus penyakit dan kematian tinggi ketika suatu lokasi terdapat banyak tambak.
Di lain pihak, ada kekhawatiran tersendiri dari Nandi terhadap peruntukan lahan. Wilayah Pulau Utara (Pantura) Jawa dikenal dengan peralihan peruntukan yang banyak digunakan untuk industri. “Jika sekarang masih bisa tambak, masih syukur. Tapi nantinya gak tahu karena dengar-dengar mau diubah peruntukan sebagai lahan industri,” ucapnya miris.
Dan jikapun harus pindah, hingga ke selatan Pulau Jawa, Nandi berpikir keras. Kalau nantinya harus memilih bertambak di Pantura atau selatan Jawa, Nandi berucap agar tetap ingin di Pantura. “Karena di Pantura itu sarana produksi sudah lengkap, kebutuhan tambak dan asal benur pun banyaknya dari Pantura. Selain itu, akses ke pasar utama, yaitu Jakarta juga lebih dekat. Belum lagi macetnya dari arah selatan itu. Masalah yang ditemukan di tambak pun kurang lebih sama, ada masalah penyakit juga. Sehingga sebetulnya Pantura itu masih layak untuk usaha tambak udang,” imbuhnya.
5.Selalu konsisten menerapkan sesuai SOP dan padat tebar stabil, usaha budidaya vannamei tetaplah cerah
Cerahnya siang hari itu, tidak sebanding dengan cerahnya wajah si pemilik tambak udang vannamei yang ditemui RIANEVANdi kawasan Indramayu, Jawa Barat (Jabar). Adalah Haji Nandi Rustandi, dengan latar belakang pendidikan perikanannya betul-betul diterapkan untuk tambaknya.
Sebagai lulusan pendidikan di bidang budidaya perairan, pria yang akrab disapa Nandi ini mulai bertambak vannamei semenjak akhir 2005 lalu. Sebelumnya, yakni sejak 1994, pemilik lebih dari 20 petak tambak ini, bertambak udang windu di lokasi tambak yang sama. Alias, tak bisa jauh-jauh dari udang.
Rahasia Nandi tidak bosan-bosannya mengurusi udang, dia katakan tidak bisa lepas dari usaha ini karena berbagai faktor. “Salah satunya, karena saya senang tantangan dan risiko yang dihadapi dalam usaha ini. Jika kita bisa mengatasi permasalahan yang ada, contohnya masalah penyakit, kita bisa dapat untung ketika panen. Dan margin keuntungannya sangat menjanjikan,” jelasnya kepada TROBOS Aqua.
Lebih dari 20 tahun bergelut di dunia udang ini, Nandi pun cukup menerapkan berbagai tip agar usahanya bisa berkelanjutan. “Antara lain, usaha harus sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), gunakan kolam penampung air agar bisa di-treatment (perlakuan) sebelum ke tambak dan setelah dari tambak, jeli dalam mengatur pakan dan melihat tren penyakit, termasuk menjaga agar padat tebar tidak terlalu tinggi dan jangan asal ikut tren,” imbuhnya.
6.Sesuaikan SOP
Menjalankan tambak sesuai SOP itu bukan isapan jempol atau hanya di buku panduan. Karena, terang Nandi, dalam bertahun-tahun ia bertambak, justru dengan penerapan SOP yang sesuailah dia terus bisa menjalankan usaha secara berkelanjutan.
Tidak perlu terlalu rumit, Nandi memisalkan, pembuatan kolam tampungan atau tandon sebagai kolam treatment bisa sangat membantu dalam meningkatkan kualitas air yang masuk ke tambak. Karena dengan adanya tandon, endapan bisa tersaring dan yang masuk ke tambak airnya sudah jernih dan aman digunakan.
Begitu pula pengolahan air limbahnya. Jangan sampai, lanjut Nandi, air limbah dari tambak dibuang langsung ke alam, misalkan ke laut. Air limbah yang tidak diolah bisa mengganggu kualitas perairan laut di sekitar tambak.
Jika air limbah tambak ini diolah terlebih dulu sebelum dibuang, laut tidak terganggu, sehingga bisa membuat tambak berkelanjutan. Jelaslah, dengan terapan SOP ini, Nandi bisa beroperasi lebih dari 20 tahun lamanya.
7.Padat Tebar Stabil
Disamping itu, Nandi tegaskan pula, ia tidak tanggung-tanggung dalam menjalani usahanya bertambak. Tidak peduli petambak di luar sana sedang berlomba untuk produksi jor-joran alias besar-besaran, Nandi tetap kalem dan stabil di padat tebarnya. Yaitu di kisaran 110 ekor per m2. “Makin tinggi padat tebar, risiko makin besar. Seperti penyakit dan tingkat kematian yang tinggi. Belum lagi harus tambah kincir, tambah biaya. Makanya saya ini yang penting selamat saja,” tutur pria asli Ciawi ini.
Dan ia pun merasa, padat tebar yang ia terapkan juga sudah tergolong tinggi bila dibandingkan beberapa petambak lain yang menerapkan padat tebar dibawah 100 ekor per m2. Namun, tetap saja Nandi membatasi padat tebar ini di kisaran tersebut.
“Pernah saya beli benur, ternyata yang datang itu jumlah benurnya lebih. Saya gak berani untuk menambah padat tebar. Akhirnya teknisi saya alihkan benur tadi untuk dipelihara di akuarium. Menurut saya terserah saja, sayang sih tapi saya gak mau ambil risiko. Makanya, ketika benur lebih itu mau dipelihara di akuarium ya silakan. Asal jangan dibuang sembarangan, seperti ke laut. Nanti bisa mengganggu perairan laut,” bebernya.
Ditambah, ujar Nandi, terdapat faktor lingkungan yang bisa merugikan bila padat tebar di atas 100 ekor per m2. Dia memisalkan, tingkat salinitas yang tinggi yang membuat pertumbuhan udang cenderung lambat dan munculnya penyakit seperti myo. Walaupun tingkat kematian masih bisa diatasi karena udang yang terkena tidak langsung outbreak mati semua. Salinitas tinggi ini bahkan bisa mencapai angka 50 ketika musim kemarau tiba.
“Namun, saya masih lebih suka salinitas tinggi dibanding salinitas rendah. Ketika salinitas rendah, pertumbuhan udang ya jadi lebih cepat, tapi penyakit juga banyak,” imbuhnya. Makanya, untuk mengatasinya, Nandi pun menerapkan dari sistem pemberian pakan dan sistem panen parsial.
Melalui sistem panen parsial yang dimulai dari udang berusia 70 hari hingga tidak lebih dari 120 hari. Dengan tiga kali panen dari ukuran (size) 70 (70 ekor per kg) hingga size 30 di tambak bisa dilakukan penjarangan dan di sisi ekonomi, sudah ada uang yang masuk. “Sehingga cash flow sudah ada yang masuk untuk pembayaran ini dan itu,” ungkap Nandi.
Sembari ia ingatkan, penyakit tak mungkin lepas dari tambak udang, tapi yang penting petambak belajar mengatasinya dan mengelola tambaknya sesuai standar yang berlaku. “Contohlah dalam 4 periode/siklus terakhir selalu terkena penyakit myo. Namun saya dan teknisi perlahan berupaya mengatasinya, salah satunya ya dengan parsial,” ia memisalkan.
Disamping itu, untuk atasi tingkat kematian akibat penyakit, Nandi pun menerapkan sistem pakan yang rendah protein. Karena menurut pengalamannya, pakan rendah protein bisa menekan laju kematian udang di tambak.
Tak lupa pula, Nanti selalu meng-update (perbarui) teknologi atau inovasi terbaru yang bisa diterapkan di tambak. Misalkan dengan penerapan plastik untuk tambak seperti mulsa, HDPE (High Density Polietylene) dan LDPE (Low Density Poliethylene) yang dipilih mana yang cocok untuk tambaknya.
Dan baru-baru ini, Nandi pun mulai beralih ke sistem pemberian pakan otomatis atau sistem automatic feeder. “Dengan pemberian pakan otomatis akan terjadi efektivitas pemberian pakan sehingga udang makan secara efektif. Harapannya kan bisa meningkatkan pertumbuhan, ADG (Average Daily Gain) bisa lebih bagus, dan usia budidaya pun akan lebih cepat,” tuturnya.
8.Tantangan ke Depan
Untuk saat ini, Nandi berucap, dengan penerapan sesuai SOP dan padat tebar stabil, usaha budidaya vannamei tetaplah cerah. Tips-tips yang perlu diperhatikan, terangnya, adalah prinsip keterisolir tambak. Semakin jauh tambak dari tambak lainnya, dari permukiman hingga usaha lainnya, otomatis tidak ada penggunaan lain terhadap sumber air budidaya.
Yang ujungnya, beber Nandi, tidak ada ketakutan dengan penyebaran penyakit. Karena, dia memisalkan, banyak terjadi kasus penyakit dan kematian tinggi ketika suatu lokasi terdapat banyak tambak.
Di lain pihak, ada kekhawatiran tersendiri dari Nandi terhadap peruntukan lahan. Wilayah Pulau Utara (Pantura) Jawa dikenal dengan peralihan peruntukan yang banyak digunakan untuk industri. “Jika sekarang masih bisa tambak, masih syukur. Tapi nantinya gak tahu karena dengar-dengar mau diubah peruntukan sebagai lahan industri,” ucapnya miris.
Dan jikapun harus pindah, hingga ke selatan Pulau Jawa, Nandi berpikir keras. Kalau nantinya harus memilih bertambak di Pantura atau selatan Jawa, Nandi berucap agar tetap ingin di Pantura. “Karena di Pantura itu sarana produksi sudah lengkap, kebutuhan tambak dan asal benur pun banyaknya dari Pantura. Selain itu, akses ke pasar utama, yaitu Jakarta juga lebih dekat. Belum lagi macetnya dari arah selatan itu. Masalah yang ditemukan di tambak pun kurang lebih sama, ada masalah penyakit juga. Sehingga sebetulnya Pantura itu masih layak untuk usaha tambak udang,” imbuhnya.
Tidak ada komentar untuk " Jurus Sukses Bertambak Udang"
Posting Komentar